Bahwa menjadi Seorang Capricorn itu Seperti Ini Rasanya...

Mencoba menelaah sifat-sifat manusia melalui konstelasi letak planet-planet dan bintang-bintang mungkin sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala. masyarakat lazimnya menyebut hal ini dengan ramalan bintang. Saya mulai mengenal hal ini seingat saya ketika berumur 4 atau 5 tahun, ketika saya menyadar bahwa liontin kalung emas yang saya gunakan berlambang zodiak Capricorn. Saya mulanya tak mengerti itu ganmbar apa, entah kambing, ikan, atau cumaa kepala manusia. Yang jelas mulai tahu namanya semenjak bisa membaca. Ada ukiran Capricon di bagian bawah lambang itu. Beranjak semakin dewasa, ada pengaruh dari teman-teman sepermainan yang punya kebiasaan membuat kompilasi data diri teman-teman di buku diary. Dulu, kami sering berlomba-lomba membuat yang tercantik, bahkan ada teman yang rela membeli buku Diary berkertas wangi dan tebal, bergambar warna-warni dan berharga mahal. Saya mulai tahu ada zodiak lain selain Capricorn. Yang lucu, pada masa mulai tertarik pada cowok, mulai ada minat untuk tahu zodiak apa yang menaunginya, dan membaca bagaimana sifat-sifatnya. Apakah berjodoh atau tidak. Kalau dipikir-pikir wayah sekali, masih sekecil itu mikirin jodoh. hahahahaha Sekarang, saya memiliki minat lain terkait zodiak. Setelal menjalani keseharian dengan berbagai pengalaman, tumbuhlah rasa ingin berubah. Saya merasa diri ini seharusnya punya kapasitas dan kompetensi yang lebih baik. Karena setiap kali menghadapi masalah atau cobaan, rasanya sulit sekali memacu diri untuk bangkit. Saya pelajari, ini bukan cuma sekali atau dua kali. Hampir setiap menghadapi masalah polanya selalu begitu. Panik adalah tahap pertama, berikutnya disusul oleh rasa bersalah, lalu menyesal, menyesal, dan menyesal berkepanjangan. Setelah itu saya diam-diam mulai membandingkan diri dengan orang lain. Perasaan yang sudah tak baik itu ditambahkan lagi dengan bumbu-bumbu rasa ketidak beruntungan. Saya mulai merasa kok ada sih oranmg yang seberuntung dia sementara saya tidak segitu beruntung. Salah saya di mana? padahal kan saya usaha, kok dia yang terlihat tidak usaha malah dilimpahi sebegitu banyak keberuntungan. Sungguh, memelihara perasaan semacam itu bukanlah hal yang patut. Rugiiiii sekali. Kita akan terkikis lama kelamaan oleh rasa tidak beruntung, kita tidak menerima diri sendiri secara apa adanya. Coba deh bayangkan, diri sendiri merasa tidak nyaman, gimana orang lain? berangkat dari hal inilah, saya seringkali ngobrol dan sharing dengan teman-teman dekat. Saya bertanya bagaimana mereka berpikir dan bersikap menghadapi permasalahan masing-masing. Saya kagum, ada yang bisa sangat santai menghadapi masalah, sehingga hidupnya seolah-olah amat ringan dan santai. Cukup lama, saya akhirnya berujung pada sebuah kesimpulan, bahwa sumber dari segala sumber keruwetan berpikir saya adalah sifat perfeksionis. Ooh... ini bagai pisau bermata dua. Saya punya kualitas kerja yang rasanya tidak jelek, berkat sifat perfeksionis. Tapi negatifnya adalah saya jadi kelewat menuntut diri saya (dan orang lain) untuk jadi 'harus'. Belakangan, saya merasa bahkan niat untuk jadi lebih santai dan mengurangi sifat perfeksionis itu sendiri pun adalah suatu bentuk perfeksionis itu sendiri. hahahahaha.... ironis.. Pada suatu malam, saya berbincang dengan seorang sahabat yang kebetulan memiliki zodiak sama dengan saya, yaitu Capricorn. ternyata,,, dia juga sering mengalami hal yang saya rasakan. Yaitu kurang bisa menerima diri sendiri. jadi, apakah kami bisa disembuhkan dari syndrom ini? Semoga....

Komentar

Postingan Populer