Ketika Menikah adalah Sebuah Kewajiban

Di kebudayaan yang membesarkanku, ada sebuah kebiasaan yang turub-temurun menentukan bahwa perempuan adalah manusia yang bertanggung jawab membesarkan keluarga. Maksudnya, secara kodrati dialah yang mengandung, melahirkan, menyusui, dan seterusnya. untuk melakukan kewajiban itu, kami, kaum perempuan memiliki batasan. Ya, usia-lah yang membatasinya.

masyarakat umum di sekitar sudah cukup paham mengenai usia-usia biologis perempuan. Kapan saat mereka subur, kapan saat mereka rawan kesulitan berbadan dua. Berdasarkan inilah para orang tua sering menasehati para perempuan, untuk segera menikah. Alasannya, mumpung masih sehat, biar tidak terlambat. Berbicara mengenai budaya, budayaku juga menjunjung tinggi kepatuhan pada nasehat orang tua. Kabarnya tidak sopan kalau apa yang mereka nasehatkan tidak dituruti, sebab mereka-lah yang lebih banyak makan asam garam kehidupan.

kenapa aku menulis tentang ini? budaya, pernikahan, dan perempuan? Karena saat ini aku sedang dihadapkan pada pilihan yang cukup dilematis.

Sebagai seorang individu, akku punya mimpi yang ingin dicapai. Aku ingin mencoba melamar beasiswa ke luar negeri, yang baru-baru ini infonya kudapatkan secara eksklusif. Sulit sekali mendapatkan informasinya, apalagi bisa lulus untuk benar-benar mengenyam pendidikan di luar negeri. ini rasanya seperti terapung di tengah laut dan kemudian ada kapal mendekat. Ada harapan untuk kembali ke darat, meskipun belum tentu kapalnya melihat ada manusia terapung-apung minta tolong.

Sebetulnya mimpi itu bisa saja kucoba untuk diwujudkan tetapi rasanya diri ini terlalu egois bila ingin mengejarnya. Aku memikirkan tentang mereka yang akan kutinggalkan. Tentang rencana masa depan yang sebetulnya sempat dirancang tetapi akan beresiko berubah seketika karena keinginan menjemput impian ini.

usiaku sudah 26, usia yang kata orang tua memang sudah cukup matang untuk berkeluarga. Rasanya sudah ratusan kali nasehat itu diucapkan. Seperti doa rasanya, dan aku berterima kasih atas kebahagiaan yang merekan panjatkan untukku. lalu dengan usia itu, aku secara tak langsung diminta untuk mempersiapkan diri melepaskan kesempatan belajar ke luar negeri. Sebab, setelah menikah nanti tentunya ada kewajiban untuk meneruskan keturunan, dan itu tak bisa dilakukan bila aku tetap berniat pergi.

ketika manusia diwajibkan menikah oleh budaya yang membesarkannya, dia haruslah memiliki pemikiran-pemikiran bijak untuk menentukan apa saja yang akan diputuskannya untuk hidupnya. Kurasa hikmahnya adalah, bermimpilah semaumu, tapi tetaplah melihat realitas. Sebab tidak semua realitas seindah mimpi.

Komentar

Postingan Populer