Sampah emosi
Mari kita bicara jujur pada diri sendiri. Bukan, bukan. Biar saya bicara jujur tentang diri saya sendiri.
Hingga detik ini, Hari Kamis, 11 Mei 2011, adalah hari ke sekian puluh yang saya lalui dengan cakup rasa galau. Saya sudah cukup sering meracau di twitter. Cukup sering membuat orang-orang tahu isi pikiran saya yang seperti benang kusut.
Ini hasil interospeksi saya:
bahwa hati saya tidak cukup lapang memaafkan apa yang dilakukan seseorang dari masa lalu. Bahwa saya tidak cukup ikhlas untuk membiarkannya melenggang bersama sosok lain. Bahwa saya tidak bisa merasa lega, ketika menyadari bahwa saya tak bisa berteman seperti biasa dengannya. Justru alasannya karena kami pernah bersama. Bukankah indah kalau semuanya bisa berjalan damai, bahwa kami bisa saling bertukar kabar, menyapa, bercanda, tanpa ada rasa kikuk yang tak perlu?
Atau, ini cuma perasaan saya?
Saya mencoba untuk menduplikasi cara lama. bahwa untuk melupakan seseorang dari hidup kita, pertama-tama putuskanlah kontak yang membuatmu masih selalu teringat padanya. Ini sudah saya lakukan baru-baru ini. Inginnya dari dulu, tapi saya masih mencoba memegang janji pada ibundanya, untuk tetap berteman. tapi, sungguh sulit berteman dengannya, ketika saya tahu, bahwa seseorang yg bersamanya kini adalah seseorang yang selalu membuat saya tidak nyaman.
Saya nggak bisa pura-pura. Sulit menyembunyikan rasa kecewa dan terluka ini. Seperti bawa kentang busuk kemana-mana, baunya menyesakkan, dan membuat beban. Saya begitu mungkin... Tapi sungguh, saya amat sangat berusaha melupakan dan memaafkan tindakannya. Sebab saya bisa apa?
Tapi jujur, ini amat sangat berat. Saya dan pikiran-pikiran negatiflah yang menciptakannya. Saya tahu, ini harus diakhiri. Hentikan segera memikirkan apa pun yang berhubungan dengannya. Hentikan niat mencari tahu apa yang dilakukannya. Hentikan perasaan rekayasa tentang bagaimana dia bila melihatmu sekarang. Bahkan, hentikan harapan sekecil apa pun bahwa dia menyesali perpisahan ini. Karena semua itu cuma memperparah luka hati.
Saya tahu, yang terjadi nggak bisa dikembalikan agar tidak terjadi. Saya juga tahu, bahwa saya harus bangkit. Tapi ya itu, kok susah banget? Siapa yang bisa bantu saya? ayo, tunjuk tangan. Nggak ada, sebab yang mbantu diri saya ya cuma diri saya. Nobody else. Itu secara teoritis saya sadari betul. Tapi, kenyataannya sungguh susaaaahh..
Kemungkinan-kemungkinan di masa depan membuat saya takut. Ketakutan adalah musuh terbesarku. Sebab aku takut sendirian. Aku takut sekali.
Hingga detik ini, Hari Kamis, 11 Mei 2011, adalah hari ke sekian puluh yang saya lalui dengan cakup rasa galau. Saya sudah cukup sering meracau di twitter. Cukup sering membuat orang-orang tahu isi pikiran saya yang seperti benang kusut.
Ini hasil interospeksi saya:
bahwa hati saya tidak cukup lapang memaafkan apa yang dilakukan seseorang dari masa lalu. Bahwa saya tidak cukup ikhlas untuk membiarkannya melenggang bersama sosok lain. Bahwa saya tidak bisa merasa lega, ketika menyadari bahwa saya tak bisa berteman seperti biasa dengannya. Justru alasannya karena kami pernah bersama. Bukankah indah kalau semuanya bisa berjalan damai, bahwa kami bisa saling bertukar kabar, menyapa, bercanda, tanpa ada rasa kikuk yang tak perlu?
Atau, ini cuma perasaan saya?
Saya mencoba untuk menduplikasi cara lama. bahwa untuk melupakan seseorang dari hidup kita, pertama-tama putuskanlah kontak yang membuatmu masih selalu teringat padanya. Ini sudah saya lakukan baru-baru ini. Inginnya dari dulu, tapi saya masih mencoba memegang janji pada ibundanya, untuk tetap berteman. tapi, sungguh sulit berteman dengannya, ketika saya tahu, bahwa seseorang yg bersamanya kini adalah seseorang yang selalu membuat saya tidak nyaman.
Saya nggak bisa pura-pura. Sulit menyembunyikan rasa kecewa dan terluka ini. Seperti bawa kentang busuk kemana-mana, baunya menyesakkan, dan membuat beban. Saya begitu mungkin... Tapi sungguh, saya amat sangat berusaha melupakan dan memaafkan tindakannya. Sebab saya bisa apa?
Tapi jujur, ini amat sangat berat. Saya dan pikiran-pikiran negatiflah yang menciptakannya. Saya tahu, ini harus diakhiri. Hentikan segera memikirkan apa pun yang berhubungan dengannya. Hentikan niat mencari tahu apa yang dilakukannya. Hentikan perasaan rekayasa tentang bagaimana dia bila melihatmu sekarang. Bahkan, hentikan harapan sekecil apa pun bahwa dia menyesali perpisahan ini. Karena semua itu cuma memperparah luka hati.
Saya tahu, yang terjadi nggak bisa dikembalikan agar tidak terjadi. Saya juga tahu, bahwa saya harus bangkit. Tapi ya itu, kok susah banget? Siapa yang bisa bantu saya? ayo, tunjuk tangan. Nggak ada, sebab yang mbantu diri saya ya cuma diri saya. Nobody else. Itu secara teoritis saya sadari betul. Tapi, kenyataannya sungguh susaaaahh..
Kemungkinan-kemungkinan di masa depan membuat saya takut. Ketakutan adalah musuh terbesarku. Sebab aku takut sendirian. Aku takut sekali.
hahaha...still got the blue
BalasHapussekedar komen mumpung lg pengen, setelah tadi komen di blognya heru tentang terorisme dan moral anggota DPR.
masalah galau itu hal biasa, apalagi utk seorang yg perasa. cobalah umtuk introspeksi dgn cara yg berbeda. jgn pernah mencoba memutuskan kontak, krn itu cara yg salah, benar kata bundamu. cobalah untuk berteman, dan berteman tidak berarti saling melupakan. beda kalo salah satunya sudah mulai lupa karena serangan pikun hahahaha...
kalo memang ga bisa pura2, maka jangan coba paksakan. karena berteman tidak dengan kepura-puraan. meski pernah terluka, tak apa. krn setiap luka itu pasti sembuh kok. kecuali kalo kena diabetes, harus segera diobati karena bisa menjalar hihihi...
cobalah untuk jujur baik pada diri sendiri dan orang lain, terutama pada ibu. karena ibu pasti tahu apa yg harus dilakukan ketika berada diposisimu. dan sepertinya masih banyak yg kau tutupi dan ibu tidak tau.
dan benar bahwa yg bisa membantu cuma dirimu sendiri, maka jujurlah pada diri sendiri dan terutama ibu. supaya ibu bisa memberi cara bagaimana menghadapi ketakutan dan musuh terbesarmu itu hehehehe....
Semangaaaattt!!!! hahahahaha....