Bahwa Sesungguhnya...
Hai, apa kabar Anda hari ini?
Saya mengalami hari yang menyenangkan kemarin, hari Minggu yang sebetulnya sama dengan hari-hari Minggu lain. Hanya saja, orang-orang sekitar saya begitu punya daya pengaruh yang positif .
Saya punya kawan-kawan yang begitu antusias menuntut ilmu keguruan. Kami secara umum baru kenal kurang dari tiga bulan, tapi pertemuan yang 2 kali seminggu itu saja mampu membuat saya merasa senang. Senang mengenal lebih banyak orang lagi. Serasa saya punya energi baru untuk menjalani hidup di esok hari. Lebay. Hehehe. Bukan cuma rasa senang yang mereka hadirkan, mereka punya latar belakang yang bhinneka. Tidak sedikit yang punya kisah-kisah pahit di masa lalu. Ini membuat saya merasa tidak sendirian, bahwa bukan cuma saya yang merasa ga nyaman. Bahwa hidup memang dari sononya begitu, selalu ada yang dipikirkan, selalu ada tugas yang mesti diselesaikan. Mereka juga. *Mari angkat gelasnya! :)
Pelajaran di hari Minggu kemarin tidak berhenti sampai di sana. Siang hari saya ngobrol dengan tante yang notabena sudah menjanda lebih dari 5 tahun, tapi belum juga bisa mengikhlaskan kepergian sang suami. Kenapa saya bisa tahu, karena ia sering menghela napas panjang, lalu bertutur tentang rasa kehilangan dengan pahit. Saya merasa berbeda ketika mendengar tuturan seorang Widyawati tentang mendiang suaminya yang telah pergi. Terdengar manis dan ikhlas. Entahlah, mungkin saya hanya merasakan hal yang tidak eksis. Tapi jelas sensasi dari pendengaran itu berbeda.
Lalu, apa yang saya pelajari? Kurang lebih adalah tentang cara mengkespresikan kesedihan. Tentu, tiap orang berbeda. Tapi saya sungguh terganggu bila ada orang yang menganggap kisah sedih-nya lah yang tertragis, tetapi di lain sisi tidak menampilkan secara nyata bagaimana dirinya berjuang menghadapi kenyataan itu. Lain kata, hanya meratap. Saya tersentil, mungkinkah saya juga tampak semenyedihkan itu? Apakah orang-orang sekitar sebetulnya merasa terganggu atas sikap can cerita saya? Am I annoying? Hasil bercerminnya masih saya pikirkan. Tapi sepertinya cenderung ke iya. hehehehe. Tapi, saya janji, sungguh. Saya nggak mau lagi seperti itu, saya akan berubah pelan-pelan.
Sore hari, saya beruntung sekali. Impian di hari kerja minggu lalu tercapai. Saya bersepeda lagi di Ubud, daerah Kutuh hingga ke Sok Wayah. Lagi-lagi, saya beruntung, ditemani oleh seseorang yang saat ini begitu baik hati mencurahkan kasih sayangnya buat saya (amin!). Bersedia menemani saya bersepeda ke medan yang mungkin menurutnya tidak menggigit. Tapi dia di sana! :)
Kali ini kami berhenti di spot terdahulu, yang dulu cuma kami singgahi kurang dari 10 menit. Kalau tidak salah namanya bale timbangan. Ini tempat yang mirip bale bengong super mungil, dngan dua kulkul besar yang tergantung di sana. Kemarin, kami (tepatnya saya) bisa duduk dan beristirahat sambil menikmati senja hari. Berfoto, memandangi bebek-bebek yang pulang ke kandang, dan bercanda hal-hal yang ringan. Ingin rasanya berlama-lama di sana, hanya saja hari akan segera gelap, dan kami bakal kesulitan bersepeda di pematang sawah yang tak berlampu. Kami lanjut bersepeda lagi sampai masuk ke jantung-nya Ubud dan pulang ke rumah kerabatnya.
Apa yang saya pelajari dari momen itu? Bahwa ternyata alam selalu punya cara untuk mengalihkan perhatianmu dari kepenatan dan kerumitan kegiatan berpikir (tentang hal-hal yang tak perlu). Dan kau akan bersyukur dapat kesempatan menikmati agungnya ciptaan-Nya, memandang bahwa sesungguhnya dunia itu indah, di luar konteks masalah kehidupan kita yang membuatnya terlihat kurang indah. Alam itu simpel, begitu banyak memberi, meski terkadang dipaksa untuk memberi lebih banyak kepada manusia dan oleh manusia. Namun ia juga bisa murka, dengan tanpa ampun menggilas manusia yang sudah menyiksa.
Lama setelah selesai bersepada, kegiatan tak terduga muncul. Kami berkelompok, memasak bersama, dengan pacar saya sebagai master chef-nya. Hahaha. Ini betulan! Dia yang merancang menu dan menginstruksikan apa yang sebaiknya kami lakukan. Dia meracik bumbu, mengolah ikan, dan menggoreng dengan ahlinya. Rokok di tangan kiri dan sutil di tangan kanan. Ini pertama kali saya punya seorang kekasih gitaris band metal yang jago memasak. What a boy! ;)
Kekurangan bahan untuk bumbu kami akali dengan belanja di mini market terdekat. Saya bersama teman SMA, yang juga istri dari sepupu pacar saya, berangkat membeli keperluan bahan itu. Hal lain yang saya ketahui dari ini adalah, bahwa Ubud di akhir bulan Mei pukul setengah 8 malam ternyata cukup dingin menggigit. yang kedua, kami bebas berkendara di jalan raya tanpa helm di kepala (mungkin polisi di sini sudah cukup kaya, jadi tidak ada tilang-menilang yang uangnya masuk kas pribadi).
Kegiatan memasak bersama ini lagi-lagi adalah hal baru buat saya. Sungguh sederhana tapi riuh. Di dapur semi-tradisional Bali itu, kami berkutat menghasilkan makanan lezat. Kami bercanda, tertawa, sambil mengerjakan tugas dengan inisiatif masing-masing. Hasilnya, luar biasa lezat! Mungkin karena faktor saya yang lapar juga. hihihihi. Menunya padahal hanya ikan goreng hasil pancingan teman dengan sambal yang diulek secara bergiliran. nama ikannya kalau tidak salah Patin dan Jabal. Kalau tidak salah ya, sebab saya tidak begitu mengenal bangsa pisces dan koleganya.
Lalu, apa hal yang dipelajari? Bahwa kebersamaan dengan keluarga adalah healer yang berdaya guna. Menurut saya, Anda bisa merasakan betapa dunia indah atau suram pertama-pertama melalui kacamata keluarga. Tanpa bermaksud meng-underestimate mereka yang mengalami broken home, dunia akan terasa tak adil pada kita ketika keluarga tak lagi harmonis. Ketika ayah-ibu tak lagi bersama, ketika kakak-adik saling membenci, ketika mertua-menantu-ipar bermasalah. Well, mungkin tidak langsung jadi suram, tapi rasanya bakal seperti ada yang mengganjalmu di dalam sini. Tetapi beda halnya waktu kita berada di tengah mereka yang saling support. Di mana yang satu jadi penopang semangat yang lain, di mana kehadiran yang satu jadi begitu berperan, meski dengan hanya 'ada di sana'. Di mana mereka utuh sepenuhnya dalam sebuah ikatan darah maupun hukum dan agama.
Tidak banyak yang bisa saya deskripsikan tentang perasaan-perasaan hari kemarin. Cuma dengan kata hebat yang mudah-mudahan cukup mewakili.
Bahwa sesungguhnya, saya sangat beruntung ada di sini ;)
Saya mengalami hari yang menyenangkan kemarin, hari Minggu yang sebetulnya sama dengan hari-hari Minggu lain. Hanya saja, orang-orang sekitar saya begitu punya daya pengaruh yang positif .
Saya punya kawan-kawan yang begitu antusias menuntut ilmu keguruan. Kami secara umum baru kenal kurang dari tiga bulan, tapi pertemuan yang 2 kali seminggu itu saja mampu membuat saya merasa senang. Senang mengenal lebih banyak orang lagi. Serasa saya punya energi baru untuk menjalani hidup di esok hari. Lebay. Hehehe. Bukan cuma rasa senang yang mereka hadirkan, mereka punya latar belakang yang bhinneka. Tidak sedikit yang punya kisah-kisah pahit di masa lalu. Ini membuat saya merasa tidak sendirian, bahwa bukan cuma saya yang merasa ga nyaman. Bahwa hidup memang dari sononya begitu, selalu ada yang dipikirkan, selalu ada tugas yang mesti diselesaikan. Mereka juga. *Mari angkat gelasnya! :)
Pelajaran di hari Minggu kemarin tidak berhenti sampai di sana. Siang hari saya ngobrol dengan tante yang notabena sudah menjanda lebih dari 5 tahun, tapi belum juga bisa mengikhlaskan kepergian sang suami. Kenapa saya bisa tahu, karena ia sering menghela napas panjang, lalu bertutur tentang rasa kehilangan dengan pahit. Saya merasa berbeda ketika mendengar tuturan seorang Widyawati tentang mendiang suaminya yang telah pergi. Terdengar manis dan ikhlas. Entahlah, mungkin saya hanya merasakan hal yang tidak eksis. Tapi jelas sensasi dari pendengaran itu berbeda.
Lalu, apa yang saya pelajari? Kurang lebih adalah tentang cara mengkespresikan kesedihan. Tentu, tiap orang berbeda. Tapi saya sungguh terganggu bila ada orang yang menganggap kisah sedih-nya lah yang tertragis, tetapi di lain sisi tidak menampilkan secara nyata bagaimana dirinya berjuang menghadapi kenyataan itu. Lain kata, hanya meratap. Saya tersentil, mungkinkah saya juga tampak semenyedihkan itu? Apakah orang-orang sekitar sebetulnya merasa terganggu atas sikap can cerita saya? Am I annoying? Hasil bercerminnya masih saya pikirkan. Tapi sepertinya cenderung ke iya. hehehehe. Tapi, saya janji, sungguh. Saya nggak mau lagi seperti itu, saya akan berubah pelan-pelan.
Sore hari, saya beruntung sekali. Impian di hari kerja minggu lalu tercapai. Saya bersepeda lagi di Ubud, daerah Kutuh hingga ke Sok Wayah. Lagi-lagi, saya beruntung, ditemani oleh seseorang yang saat ini begitu baik hati mencurahkan kasih sayangnya buat saya (amin!). Bersedia menemani saya bersepeda ke medan yang mungkin menurutnya tidak menggigit. Tapi dia di sana! :)
Kali ini kami berhenti di spot terdahulu, yang dulu cuma kami singgahi kurang dari 10 menit. Kalau tidak salah namanya bale timbangan. Ini tempat yang mirip bale bengong super mungil, dngan dua kulkul besar yang tergantung di sana. Kemarin, kami (tepatnya saya) bisa duduk dan beristirahat sambil menikmati senja hari. Berfoto, memandangi bebek-bebek yang pulang ke kandang, dan bercanda hal-hal yang ringan. Ingin rasanya berlama-lama di sana, hanya saja hari akan segera gelap, dan kami bakal kesulitan bersepeda di pematang sawah yang tak berlampu. Kami lanjut bersepeda lagi sampai masuk ke jantung-nya Ubud dan pulang ke rumah kerabatnya.
Apa yang saya pelajari dari momen itu? Bahwa ternyata alam selalu punya cara untuk mengalihkan perhatianmu dari kepenatan dan kerumitan kegiatan berpikir (tentang hal-hal yang tak perlu). Dan kau akan bersyukur dapat kesempatan menikmati agungnya ciptaan-Nya, memandang bahwa sesungguhnya dunia itu indah, di luar konteks masalah kehidupan kita yang membuatnya terlihat kurang indah. Alam itu simpel, begitu banyak memberi, meski terkadang dipaksa untuk memberi lebih banyak kepada manusia dan oleh manusia. Namun ia juga bisa murka, dengan tanpa ampun menggilas manusia yang sudah menyiksa.
Lama setelah selesai bersepada, kegiatan tak terduga muncul. Kami berkelompok, memasak bersama, dengan pacar saya sebagai master chef-nya. Hahaha. Ini betulan! Dia yang merancang menu dan menginstruksikan apa yang sebaiknya kami lakukan. Dia meracik bumbu, mengolah ikan, dan menggoreng dengan ahlinya. Rokok di tangan kiri dan sutil di tangan kanan. Ini pertama kali saya punya seorang kekasih gitaris band metal yang jago memasak. What a boy! ;)
Kekurangan bahan untuk bumbu kami akali dengan belanja di mini market terdekat. Saya bersama teman SMA, yang juga istri dari sepupu pacar saya, berangkat membeli keperluan bahan itu. Hal lain yang saya ketahui dari ini adalah, bahwa Ubud di akhir bulan Mei pukul setengah 8 malam ternyata cukup dingin menggigit. yang kedua, kami bebas berkendara di jalan raya tanpa helm di kepala (mungkin polisi di sini sudah cukup kaya, jadi tidak ada tilang-menilang yang uangnya masuk kas pribadi).
Kegiatan memasak bersama ini lagi-lagi adalah hal baru buat saya. Sungguh sederhana tapi riuh. Di dapur semi-tradisional Bali itu, kami berkutat menghasilkan makanan lezat. Kami bercanda, tertawa, sambil mengerjakan tugas dengan inisiatif masing-masing. Hasilnya, luar biasa lezat! Mungkin karena faktor saya yang lapar juga. hihihihi. Menunya padahal hanya ikan goreng hasil pancingan teman dengan sambal yang diulek secara bergiliran. nama ikannya kalau tidak salah Patin dan Jabal. Kalau tidak salah ya, sebab saya tidak begitu mengenal bangsa pisces dan koleganya.
Lalu, apa hal yang dipelajari? Bahwa kebersamaan dengan keluarga adalah healer yang berdaya guna. Menurut saya, Anda bisa merasakan betapa dunia indah atau suram pertama-pertama melalui kacamata keluarga. Tanpa bermaksud meng-underestimate mereka yang mengalami broken home, dunia akan terasa tak adil pada kita ketika keluarga tak lagi harmonis. Ketika ayah-ibu tak lagi bersama, ketika kakak-adik saling membenci, ketika mertua-menantu-ipar bermasalah. Well, mungkin tidak langsung jadi suram, tapi rasanya bakal seperti ada yang mengganjalmu di dalam sini. Tetapi beda halnya waktu kita berada di tengah mereka yang saling support. Di mana yang satu jadi penopang semangat yang lain, di mana kehadiran yang satu jadi begitu berperan, meski dengan hanya 'ada di sana'. Di mana mereka utuh sepenuhnya dalam sebuah ikatan darah maupun hukum dan agama.
Tidak banyak yang bisa saya deskripsikan tentang perasaan-perasaan hari kemarin. Cuma dengan kata hebat yang mudah-mudahan cukup mewakili.
Bahwa sesungguhnya, saya sangat beruntung ada di sini ;)
Komentar
Posting Komentar