Upacara Sakral Sekaligus Massive
Kamis, 18 Agustus 2011 kemarin saya ambil cuti dari kantor semata-mata demi menonton jalannya upacara pelebon di Puri Ubud, Gianyar.
Yang meninggal adalah istri dari raja Ubud terdahulu, sekaligus Ibunda dari Bupati Gianyar. Beliau disebut Ratu Niang. Meninggal pada bulan Mei 2011, jasadnya baru di pelebon pada bulan Agustus. Cukup lama memang.
Seperti nasehat wi Wisnu, sebaiknya datanglah ke Ubud di pagi hari, saat jalanan masih sepi dan masih mudah mencari akses parkir mobil. Aku berangkat pukul 8 pagi dari Denpasar. rajinnya udah ngalah-ngalahin jam berangkat kerja. heheheh
Jalanan kulaui dengan happy, antusias karena bisa escape dari rutinitas kantor. Ku berusaha menyerap setiap momen, detik demi detik, agar bisa mengenangnya nanti.
Sampai di Ubud dengan suasana jalanan yang diramaikan oleh anak-anak pulang sekolah. Mereka barangkali diliburkan oleh sekolah setempat, karena bakal ada upacara besar di ibu kota kecamatan ini nanti. Lagi-lagi, aku berusaha menyerap suasana, melihat setiap sudut, menghirup udara bersih pagi hari di Ubud dan tidak mengalami kesulitan terbawa suasana damainya.
kami waktu itu berjalan kaki dari jalan Sugriwa menuju puri Ubud, atas permintaanku supaya bisa menyaksikan dari dekat kemegahan bade dan lembu yang dipakai di upacara Pelebon nanti. Ternyata seperti yang sudah dibayangkan, ada berjejal manusia membawa kamera berbagai jenis dan ukuran. Dari orang lokal yang berdandan kebule-bulean, hingga orang bule yang berpakaian keBali-balian. Unik. Semuanya tumpah ruah dalam rasa kagum, terpusat pada dua benda menjulang buatan manusia itu.
Sekitar pukul 12.30 siang harinya, kami bersiap mengambil spot eksklusif agar bisa menyaksikan arak-arakan bade dengan jelas. Tempatnya adalah di atas atap Delta Mart di jalan raya Ubud, yang kebetulan ada di samping tembok rumah Wi Wisnu. Kami berpanas-panas ria, tidak peduli kulit akan terpanggang hitam. Yang penting bisa nonton.
(to be continued...)
Yang meninggal adalah istri dari raja Ubud terdahulu, sekaligus Ibunda dari Bupati Gianyar. Beliau disebut Ratu Niang. Meninggal pada bulan Mei 2011, jasadnya baru di pelebon pada bulan Agustus. Cukup lama memang.
Seperti nasehat wi Wisnu, sebaiknya datanglah ke Ubud di pagi hari, saat jalanan masih sepi dan masih mudah mencari akses parkir mobil. Aku berangkat pukul 8 pagi dari Denpasar. rajinnya udah ngalah-ngalahin jam berangkat kerja. heheheh
Jalanan kulaui dengan happy, antusias karena bisa escape dari rutinitas kantor. Ku berusaha menyerap setiap momen, detik demi detik, agar bisa mengenangnya nanti.
Sampai di Ubud dengan suasana jalanan yang diramaikan oleh anak-anak pulang sekolah. Mereka barangkali diliburkan oleh sekolah setempat, karena bakal ada upacara besar di ibu kota kecamatan ini nanti. Lagi-lagi, aku berusaha menyerap suasana, melihat setiap sudut, menghirup udara bersih pagi hari di Ubud dan tidak mengalami kesulitan terbawa suasana damainya.
kami waktu itu berjalan kaki dari jalan Sugriwa menuju puri Ubud, atas permintaanku supaya bisa menyaksikan dari dekat kemegahan bade dan lembu yang dipakai di upacara Pelebon nanti. Ternyata seperti yang sudah dibayangkan, ada berjejal manusia membawa kamera berbagai jenis dan ukuran. Dari orang lokal yang berdandan kebule-bulean, hingga orang bule yang berpakaian keBali-balian. Unik. Semuanya tumpah ruah dalam rasa kagum, terpusat pada dua benda menjulang buatan manusia itu.
Sekitar pukul 12.30 siang harinya, kami bersiap mengambil spot eksklusif agar bisa menyaksikan arak-arakan bade dengan jelas. Tempatnya adalah di atas atap Delta Mart di jalan raya Ubud, yang kebetulan ada di samping tembok rumah Wi Wisnu. Kami berpanas-panas ria, tidak peduli kulit akan terpanggang hitam. Yang penting bisa nonton.
(to be continued...)
Komentar
Posting Komentar